Thursday, April 8, 2010
Erdogan Kecam Rencana Agresi Israel ke Jalur Gaza
Erdogan Kecam Rencana Agresi Israel ke Jalur Gaza
Selasa, 06/04/2010 21:34 WIB
KNRP - Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, telah megeluarkan pernyataan yang mengecam Israel atas agresi terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza.
"Kami tidak bisa menyaksikan pembunuhan anak-anak di Gaza dengan ketidakpedulian. Ini tidak manusiawi," katanya dihadapan sejumlah pejabat Turki yang tengah berkumpul untuk menandai peluncuran pertama stasiun TV Turki 24 jam berbahasa Arab, El Turkiye. Demikian sebagaimana dikutip oleh situs Israel, Ynet News, pada hari Senin (5/4).
"Arab dan Turki adalah saudara dan kami berbagi nilai yang sama," tambahnya.
Turki telah berulang kali mengkritik Tel Aviv sejak perang Desember 2008-Januari 2009 di Gaza, di mana pasukan Israel membantai lebih dari 1.400 orang Palestina melalui artileri, serangan udara, dan pengeboman lewat laut dari Jalur Gaza.
Ketegangan juga muncul pasca kunjungan duta besar Turki ke Tel Aviv yang dipermalukan oleh pejabat Israel. Hal ini terjadi setelah Israel menanggapi acara TV prime-time Turki yang menggambarkan agen Mossad sebagai pembunuh dan penculik anak-anak.
Departemen Luar Negeri Israel menanggapi komentar Erdogan dengan mengeluarkan pernyataan yang berbunyi, "Israel tidak mencari konfrontasi dengan negara manapun, termasuk Turki. Namun, tampak seolah-olah perdana menteri Turki ingin menjadikan permasalahan dunia Muslim sebagai tanggung jawab Israel."
Pernyataan tegas dari Erdogan memang dipandang benar dan tepat oleh sebagian besar kalangan internasional. Apalagi dengan melihat upaya pembangunan pemukiman di Yerusalem dan penghancuran masjid Al-Aqsha yang belum selesai, Israel seolah bagai anjing yang kelaparan hendak menerkam dan menghabisi seluruh penduduk Palestina. (mirzah/prstv)
Mesir Percepat Pembangunan Dinding Baja
Rabu, 07/04/2010 08:01 WIB
KNRP - Pembangunan tembok baja yang sedang dibangun oleh Mesir di perbatasan Mesir dengan Jalur Gaza, untuk memerangi banyaknya terowongan yang digunakan oleh orang-orang dari Gaza untuk menyelundupkan barang dan kebutuhan pokok mengalami akselerasi luar biasa sejak dimulai awal tahun ini.
Menurut saksi mata dari pihak Palestina di perbatasan kepada aljazeera, Selasa (6/4), mengungkapkan bahwa pemerintah Mesir telah menambahkan jumlah peralatan dan ekskavator yang digunakan untuk mengerjakan dinding itu di sepanjang perbatasan dengan Jalur Gaza.
Pengerjaan dinding baja itu terkonsentrasi pada dua bagian yang terletak di timur dan barat perbatasan Mesir dengan Gaza yang membentang dari pantai Mediterania di barat ke persimpangan Kerem Shalom di sebelah timur sepanjang 14 km.
Dalam konteks ini, seorang pejabat keamanan Palestina menegaskan bahwa pihak Mesir akhirnya mencoba mempercepat pembangunan tahap pertama dinding ini. Ia juga menunjukkan bahwa pemerintah Mesir mengklaim telah menyelesaikan pembangunan itu sekitar 50 sampai 60 persen.
Lalu pejabat Palestina yang enggan disebutkan namanya itu memprediksi bahwa sebelum akhir tahun ini dinding itu akan selesai jika Mesir terus mengerjakannya dengan kecepatan seperti saat ini.
Pejabat itu menambahkan, piringan dinding baja yang dibenamnkan oleh pemerintah Mesir di kedalaman tanah sampai 18 sampai 20 meter itu adalah piringan yang sama yang sebelumnya pendudukan Israel menggunakannya dalam mengontrol perbatasan dengan sisi Mesir sebelum penarikan dari Jalur Gaza pada musim panas 2005.
Dia melanjutkan bahwa berwenang Mesir sejauh ini belum secara sengaja membenamkan piringan baja itu sepenuhnya di daerah di mana di sana terkonsentrasi banyak terowongan bawah tanah sampai selesainya tahap akhir dari pembangunan tembok itu.(milyas/aljzr)
KENYATAAN MEDIA MAPIM DI PARLIMEN 7 APR 2010
INFO PENTING DARI KOALISI KONVOI VIVA ANTARABANGSA...
Written by Free Gaza Team 28 April 2010
Posted in News
(London, UK) On May 24, 2010, the Freedom Flotilla sets sail for Gaza determined to, once again, challenge Israel’s blockade of 1.5 million Palestinians trapped in an open-air prison. Under the coordination of the Free Gaza Movement, numerous human rights organizations, including the Turkish Relief Foundation (IHH), the Perdana Global Peace Organization from Malaysia, the European Campaign to End the Siege of Gaza, and the Swedish and Greek Boat to Gaza initiatives will send three cargo ships loaded with reconstruction, medical and educational supplies. At least five passenger boats with over 600 people on board will accompany the cargo ships.
These passengers include members of Parliament from around the world, U.N., human rights and trade union activists, as well as journalists who will document the largest coordinated effort to directly confront Israel’s illegal blockade of Gaza and take in basic supplies.
Said Mary Hughes Thompson, one of Free Gaza’s co-founders, “Although we were happy with the first trips, it was bitter-sweet, knowing that our small boats and symbolic amounts of relief paled in comparison to what was really needed in Gaza. Now, we finally feel we are helping to organize a powerful action, one with the potential to translate into a sustained campaign of much more effective challenges to Israel's brutal siege.”
In the past three months, Israel has limited fuel to run the power station. Much of Gaza is often in darkness. There are just enough trucks coming in to barely prevent total starvation, and Egypt, complicit with the Israeli-US policy of blockading Palestinians, is building an underground steel wall to prevent people in Gaza from bringing in vitally needed supplies through tunnels.FOR IMMEDIATE RELEASE
Wednesday, April 28, 2010
Contact: Greta Berlin, +33 63 142 7577, http://mc/compose?to=Iristulip@gmail.com
Huwaida Arraf, +970-598-336-215, +972-542-635-936, http://mc/compose?to=huwaida@freegaza.org
Caoimhe Butterly, +353 876 114 553, http://mc/compose?to=sahara78@hotmail.co.uk
http://www.youtube.com/gazafriends#p/a/u/0/yz-LYXV6_t0A cargo ship sponsored by the people of Malaysia and loaded with cargo donated from citizens of Ireland, Scotland, and Britain as well as thousands around the world, will depart from Ireland the second week of May. When it reaches the Mediterranean, she will be joined by the other boats and begin the journey to Gaza.
Dr. Mona El-Farra, Deputy Director of the Union of Health Work Committees in Gaza was pleased to hear we are coming back. “When the two boats from Free Gaza entered the harbor in 2008, it was like a dream, it was historic. And all great things start with some dreamers who made it true. For us in Gaza, the dream of freedom will not be lost, and we welcome this next voyage with open hearts.”
The Free Gaza Movement along with the partners listed above, are the organizers of this flotilla. However, dozens of organizations and tens of thousands of people around the world are taking part to make this voyage a success. http://www.freegaza.org/
Greta Berlinhttp://www.freegaza.org/
NASIB PELARIAN PALESTIN DAN BOIKOT PRODUK ISRAEL....
10 Produk yang Memiliki Link dengan Israel, Diboikot!
Jumat, 18/12/2009 23:48 WIB
KNRP - Aktivis anti-apartheid telah menamai sejumlah merek komersial sebagai sponsor Israel, dan mendesak negara-negara dunia untuk berpikir dua kali sebelum membeli produk-produk tersebut menjelang Natal.
Kampanye AS untuk Boikot Akademik dan Budaya Israel (USACBI) merilis daftar 10 perusahaan multi-nasional yang terikat dengan Israel, serta mengatakan bahwa perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan salah satunya dari pembangunan dinding apartheid Tepi Barat.
USACBI menuduh kelompok-kelompok komersial ini memiliki peran langsung dalam penderitaan rakyat Palestina, dengan memanfaatkan kekuatan pekerja Palestina dan mendukung militer Israel untuk membangun proyek-proyek pemukiman ilegal di wilayah-wilayah Palestina yang diduduki.
Lebih lanjt mereka mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut juga telah menjadi ancaman serius terhadap lingkungan dan melanggar undang-undang ketenagakerjaan internasional. Dengan adanya catatan ini, maka upaya untuk memboikot produk-produk mereka menjadi sangat penting.
Perusahaan yang terdaftar untuk diboikot itu antara lain AHAVA cosmeceutical, industri tekstil Galil, Produk Bawang Putih dan Herbal Dorot, yang semuanya memiliki basis di Israel.
Perusahaan telekomunikasi Motorola, Intel Corporation - terbesar di dunia semi konduktor pembuat chip -, perusahaan Estee Lauder kosmetik dan perawatan kulit, perusahaan Sabra, yang menghasilkan produk makanan bergaya Mediterania, dan perususahaan barang-barang konsumen global Sara Lee juga termasuk perusahaan yang terdapat dalam daftar.
Sementara itu perusahaan kosmetik raksasa yang berbasis di Paris L'Oreal dan pengecer pakaian wanita asal Amerika Victoria's Secret, juga berada di antara perusahaan-perusahaan yang akan diboikot oleh USACBI.
Para penggerak Pro-Palestina ini semakin memiliki banyak pendukung di seluruh Eropa setelah Tel Aviv melakukan serangan ofensif di Jalur Gaza bulan Desember 2008-Januari 2009. Dan kali ini tampaknya sasaran para penggerak Pro-palestina ini mengarah pada rezim sektor perdagangan Israel.
Sementara itu di lain pihak, pada hari Kamis kemarin (17/12) para anggota parlemen Israel mengancam akan memboikot produk-produk Inggris sebagai tanggapan atas dikeluarkannya sebuah kebijakan oleh Departemen Inggris untuk urusan Lingkungan Hidup, Food and Rural Affairs, yang mengharuskan para penjual menyatakan apakah produk Tepi Barat yang tercantum dalam label-label produk dagang, benar-benar di buat oleh warga Palestina atau hanya manipulasi dan dibuat oleh Israel.
Empat puluh anggota parlemen dari Israel serta 120 anggota parlemen Knesset, menandatangani petisi tersebut untuk dikirim ke parlemen Inggris, demikian menurup penuturan seorang pembantu anggota dewan bernama Ronit Tirosh, yang akan memimpin pergerakan ini.
Kini masyarakat internasional semakin banyak yang menganggap bhawa permukiman Israel di Tepi Barat tidak sah dan serta menjadi rintangan utama dalam upaya perdamaian. Untuk itulah semakin banyaak lahir gerakan-gerakan pro-Palestina dan anti-apartheid Israel. (mirzah/presstv)
Australia Terima Puluhan Pengungsi Palestina
Sabtu, 05/12/2009 22:47 WIB
KNRP – Pada Rabu (2/12) sore lalu tercatat 42 pengungsi Palestina yang tinggal di kamp padang pasir, Al-Haul di Kota Hasakah, 700 km timur laut Damaskus, telah bertolak meninggalkan tempat padang pasir itu sejak selama lebih dari tiga tahun mereka hidup di tengah kondisi yang memburuk.
Para pengungsi itu telah meninggalkan kamp padang pasir Al-Haul melalui Bandar Udara Internasional Damaskus, menyusul pengumuman yang diberikan Australia ihwal persetujuan untuk menjadikan Australia sebagai rumah mereka.
Asosiasi Palestina di Irak yang dipimpin oleh Thamer Misheen telah memberikan para pengungsi Palestina itu sebuah tas 'Dia Palestina yang Pulang' dan berfoto bersama sebagai keang-kenangan. Asosiasi juga mendesak mereka untuk berpegang kepada identitas Islam dan nasionalisme serta komitmen terhadap masalah Palestina.
Jumlah pengungsi di kamp Al-Haul sendiri melampaui 600 orang, yang sebelumnya berjumlah 331 yang kemudian datang ratusan pengungsi dari dari kamp-kamp pengungsi Palestina di Suriah. Namun ratusan pengungsi itu menyampaikan keluhannya atas kondisi mereka. Karena itu, mereka mendesak Komisaris Tinggi untuk Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menerbitkan KTP kepada mereka dan membangun rumah untuk berteduh serta menghimbau kepada semua badan dan organisasi-organisasi kemanusiaan dan media untuk memberikan bantuan kemanusiaan.
Menarik diungkap, sejumlah pengungsi kamp Al-Haul telah didistribusikan ke Swedia, Kanada, Perancis dan Denmark. Sementara itu, seperti disebutkan paltimes, kamp Al-Haul merupakan kamp pengungsi padang pasir paling awal di Irak, dimana kamp itu didirikan pada Mei 2006 setelah Suriah menyetujui untuk menerima para pengungsi itu di wilayah Trebil di perbatasan Yordania di Irak.(milyas/pt)
Putus Sekolah, 50% Anak Palestina di Kamp Pengungsi Lebanon
Senin, 23/11/2009 17:04 WIB
KNRP - Angka putus sekolah di kalangan anak-anak pengungsi Palestina di Libanon sudah sampai ke tingkat mencemaskan, yaitu hampir 50 persen dari siswa yang berusia 17 tahun dan 40 persen dari yang berusia 16. Demikian seperti diingatkan oleh para pejabat PBB pada Jumat pekan lalu.
"Kami sedang membunyikan alarm bahwa tingkat putus sekolah itu terlalu tinggi di kalangan anak-anak usia sekolah dari perantara untuk tingkat sekolah tinggi," kata Ray Virgilio Torres, Kepala Dana untuk Anak-anak di PBB (UNICEF) di Beirut, dalam kaitan laporannya dalam masalah tersebut, seperti dilansir situs palestinechronicle.
Laporan itu sendiri dirilis bertepatan dengan ulang tahun ke-20 terkait konvensi internasional mengenai hak-hak anak. Di dalam laporan itu Torres mengatakan bahwa secara keseluruhan, hampir 15 persen anak-anak yang berusia antara 7 dan 17 tahun bertempat tinggal di Libanon yang berasal 12 kamp-kamp pengungsi dan dalam pertemuan warga Palestina di sana diketahui banyak dari mereka yang putus sekolah.
Menurut UNICEF, sepertiga dari anak-anak itu buta huruf. "Angka ini sangat mengkhawatirkan jika Anda mempertimbangkan bahwa separuh dari usia 17 tahun anak-anak itu putus sekolah dibandingkan dengan 40 persen ketika mereka sampai pada usia 16 tahun," imbuh Torres.
"Ini adalah usia yang sensitif dan jika Anda menambahkan bahwa risiko lain akan terkena mereka di kamp-kamp, inilah alasan untuk khawatir," tegas dia sembari menambahkan bahwa sebagian besar anak-anak yang putus sekolah itu karena kemiskinan, kurangnya pendidikan sesuai program dan kurangnya perspektif untuk masa depan.
"Para pemuda mengatakan, mengapa harus sekolah ketika saya tidak bisa bekerja setelah itu'," kata Torres menirukan salah sebab alasan putus sekolah mereka itu. Untuk diketahui, Hukum Libanon mencegah pengungsi Palestina untuk melakoni sebuah profesi atau memiliki properti.
Torres juga mengungkapkan faktor lain yang mengkhawatirkan yaitu pekerja anak anak-anak di kalangan pengungsi Palestina yang mencapai 6,1 persen, sebagian besar dari mereka adalah anak laki-laki. "Ini terlalu tinggi bila Anda membandingkannya dengan angka di negara-negara maju di mana tenaga kerja anak praktis menghilang," kata Torres.
Terdapat sekitar 250.000 sampai 270.000 pengungsi Palestina hidup di Libanon. Sebagian besar berasal dari keluarga yang tiba pada tahun 1948 setelah pembentukan negara Israel secara paksa.(milyas/ palestinechronicle)
0 comments:
Post a Comment